Anak-anak di Al Quds hidup dalam represi Israel. Sebagian dari mereka harus berangkat sekolah memanjat tembok pembatas. Hampir semua anak yang belajar di sekolah harus mengenyam kurikulum Israel, bahkan tentara Israel di Al Quds tidak segan menangkap para remaja.
ACTNews, YERUSALEM – Ribuan anak di Palestina tidak dapat melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi. Ditambah lagi, banyak anak Palestina tidak memiliki pekerjaan setelah putus sekolah. Keadaan itu disampaikan Isyraq Yahya Awadh Dayat, perempuan Palestina yang bergabung dalam Komunitas Kita Semua Maryam kepada ACTNews, Kamis (20/2) lalu.
Anak-anak di Al Quds telah kehilangan hak mereka. Tidak ada keamanan yang dapat menjamin anak-anak Al Quds. Tentara Israel sering kali menjemput paksa anak-anak dan remaja di rumah pada malam hari. “Rumah-rumah di Al Quds sangat tidak aman, bisa saja 24 jam tentara Israel mengambil anak-anak dari ibu mereka. Mereka diambil secara paksa untuk dimasukkan ke penjara,” cerita Isyraq.
Hal yang lebih memprihatinkan, lanjut Isyraq, ketika anak-anak digabungkan satu sel dengan para penjahat Israel. Ia khawatir anak-anak akan menerima pengaruh buruk seperti merokok, narkoba, dan hal-hal yang merusak akidah juga akhlak.
“Ada puluhan keputusan Mahkamah Israel yang membuat anak-anak Palestina menjadi tahanan rumah. Mereka tidak bisa melakukan kegiatan dengan keluarga karena menjadi tahanan rumah, seperti pergi ke suatu tempat. Ada alat yang digunakan untuk mendeteksi anal-anak. Mereka harus membayar denda kalau melanggar dan keluar rumah,” lanjut Isyraq.Baca juga: Menjaga Generasi Murabithun
Selain keamanan dan pendidikan, anak-anak Palestina juga sulit mengaksek fasilitas kesehatan. WHO pada akhir 2019 melaporkan, lebih dari setengah anak-anak di Palestina yang terkena dampak konflik mengalami gangguan stres pascatrauma. Mereka juga memiliki akibat jangka berupa cedera, yang mana hal itu berdampak pada beban kesehatan Palestina.[]